Saturday, 7 June 2008

Opini

Jangan Ragu Berkata Tidak

Yukee Muchtar *)

KEKERASAN Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi kalimat yang akrab di telinga kita akhir-akhir ini. Seperti namanya, tentu Anda sudah tahu bahwa KDRT adalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dan terjadi pada anggota keluarga tersebut, istri, suami, anak-anak, bahkan pembantu.

Namun di sini yang akan kita bahas adalah kekerasan terhadap pasangan, khususnya yang dilakukan laki-laki (suami) terhadap perempuan (istri).

Menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1994 pasal 1, definisi kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.

Bentuk-bentuk KDRT meliputi:
1. Kekerasan Fisik, kekerasan yang di lakukan kepada pihak lain dan akan membahayakan fisik, misalnya : memukul, mencekik, menyundut dengan rokok, dan lain-lain.
2. Kekerasan Mental atau psikis, kekerasan yang dilakukan untuk melukai perasaan pihak lain, misalnya : mencaci maki, menghardik, membentak dan mempermalukannya di depan umum. Pada kekerasan ini akan timbul perasaan tertekan dan tak nyaman serta hilangnya rasa percaya diri pada korban.

3. Kekerasan Seksual, kekerasan yang menyangkut pemerkosaan, pelecehan seksual dengan kata-kata atau perbuatan tak senonoh baik secara langsung atau dengan ancaman yang tak diinginkan dan akan merendahkan martabat korban.

Begitu banyak hal-hal yang menjadi faktor utama kekerasan ini terjadi. Faktor pertama adalah pendidikan keluarga, di mana ketika seorang anak tumbuh dalam keluarga yang kurang harmonis, setelah dewasa dia akan cenderung meniru perilaku orang tuanya, meski ini tidak mutlak akan terjadi karena selain itu, lingkungan pergaulan seseorang juga dapat mempengaruhi kepribadian. Ditambah lagi dengan budaya patriarkis yang menempatkan perempuan selalu di posisi bawah, maka laki-laki akan terbiasa dengan kesemena-menaannya menganggap bahwa merekalah yang berhak melakukan apa saja.

Sejak kita kecil, laki-laki dan perempuan dibedakan secara tidak adil. Perempuan, misalnya, harus mengalah, lembut dan melayani. Sementara laki-laki selalu mendapatkan perlakuan utama dan istimewa. Pendidikan keluargalah yang menjadi penyebab utama pembedaan ini.

Kedua, berhubung masalah kekerasan ini terjadi dalam lingkup rumah tangga, maka pihak lain yang mengetahui dan mendengarnya tak berani berkutik. “Jangan ikut campur urusan rumah tangga orang.” Kalimat inilah yang mereka jadikan alasan untuk tidak ambil bagian dalam menyelamatkan korban.

Korban membiarkan dan menyembunyikannya dari teman, saudara atau orang tua karena takut atau malu, setidaknya sampai segalanya menjadi sangat parah dan butuh penyelesaian serius. Padahal, kekerasan tetaplah kekerasan dan harus dihentikan walau di manapun dan dalam konteks apapun kekerasan itu terjadi.

Ketiga, ketiadaan tindakan nyata korban dalam pembelaan ini pula membuat penanggulangan KDRT terhambat, mungkin korban merasa semua ini terjadi karena kesalahannya atau korban merasa sudah seharusnya dia diperlakukan begitu. Lebih-lebih korban merasa iba setelah pelaku minta maaf dan mengatakan menyesali perbuatannya, tanpa di sadari lama-lama itu menjadi sebuah kepribadian seseorang dalam menyelesaikan suatu masalah.

Keempat dan yang paling fatal adalah rasa cinta dan kasih sayang yang buta pada pelaku sehingga korban tidak pernah mampu untuk dengan tegas menindak perlakuan itu terhadap dirinya. Rasa takut yang berlebihan dan kurangnya rasa percaya diripun memicu kekerasan ini sulit di hentikan.

Padahal secara hukum pelaku kekerasan ini bisa dijerat dan dijatuhi sangsi sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, termasuk untuk jenis penganiayaan fisik, pencabulan, pelecehan seksual, pemerkosaan, kejahatan terhadap kesopanan dan untuk persetubuhan dengan perempuan di bawah umur.

Jadi sudah saatnya kita, para perempuan mengetahui hak-hak asasi kita. Hak untuk hidup bahagia dan dicintai. Bahkan kita berhak untuk menentukan dengan siapa kita akan hidup.

Rasa percaya diri yang tinggi juga dapat membantu mengurangi sikap nrimo terhadap perlakuan yang tak adil ini.

*)Penulis adalah anggota Sekar Bumi Hong Kong dan saat ini bekerja sebagai buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong

0 comments: