Yukee Muchtar*)
“Aku ingin pulang, tapi nggak tahu harus bagaimana.” Kalimat itu aku ingat diucapkan oleh Budiyanti, seorang buruh migran Indonesia asal Malang. Ia mengucapkannya saat bertemu denganku, suatu siang, sepulangnya dari pasar di kawasan North Point, pertengahan September, tiga tahun lampau.
Perempuan usia 30-an yang akrab dipanggil Budi itu sedang bingung. “Bikin aja surat pengunduran diri sebulan sebelumnya yang popular disebut one month notice itu. Tanda tangani, lalu serahkan ke majikanmu agar ia juga menandatanginya. Sebulan berikutnya kamu bisa meninggalkan Hong Kong dengan tenang,” terangku. Tapi ia memberikan jawaban tak terduga. “Sudah. Tapi itulah yang masalahku,” ujarnya. Setelah pertemuan itu, aku kembali bertemu dengannya di bundaran Air Mancur Victoria Park, Causeway Bay. Budi bercerita bahwa ia sudah bertemu agen. Namun agen tak terlalu peduli soal one month notice yang ia buat. Bahkan agen balik mengancam Budi untuk mem-blacklist-nya jika ia coba-coba mengajukan tuntutan.
“Aku sudah nggak betah kerja di majikan. Ia duda dengan dua anak yang semua sudah dewasa. Nggak ada yang harus aku kerjakan selain ngurus rumah dan masak. Tapi yang bikin aku makin nggak betah, aku tidur di dapur. Mana bisa aku tidur nyenyak sementara orang-orang selalu bolak-balik ke dapur,” jelasnya. “Kan tinggal setahun lagi, nggak bisa ditahan meh?” potongku. Budi menggeleng. Akhirnya aku menemaninya ke agen yang menyalurkannya di kawasan North Point.
Setibanya di sana, Ms. Wong –pemilik agen- menyambut kami dengan senyum yang sulit kuartikan .Hari itu hari Minggu. Tempat itu terlihat ramai. Selain sebagai kantor agen MS, tempat itu juga merupakan boarding house. Ruangan itu sempit. AC yang tak dinyalakan membuat ruangan itu makin pengap. Tak terbayangkan rasanya. Aroma parfum bercampur keringat berbaur dengan asap dapur dari warung sebelah yang masuk menerobos jendela.
Setengah jam kami menunggu hingga kemudian kudengar panggilan. “Budiyanti, harap menghadap Ms. Wong di ruang C,” panggil salah seorang asisten agen meniru gaya seorang perawat di Saint Paul Hospital. Lagu Sealed With a Kiss terdengar di ponselku, cepat-cepat kusambar. “Aku nggak punya banyak waktu. Seminggu lagi tanggal jatuh tempo, sudah sebulan sejak ditandatangani majikanku,” suara Budi di seberang, panik.
Hari itu awal Oktober 2008.
Dari cerita Budi, aku tahu kemudian bahwa majikannya tak bicara apa-apa saat disodori surat one month notice pada 10 September lalu, beberapa hari sebelum ia mengadukan masalahnya saat bertemu denganku di pasar North Point. Laki-laki setengah baya itu hanya membaca sekilas dan tanpa banyak kata menandatanganinya.
Sampai seminggu tak ada efek yang berarti. Namun kemudian, sepulang kerja, Mr.Cheung –majikan Budi- meminta agar Budi menunda kepulangannya hingga Desember atau setidaknya sampai penggantinya datang. Ini yang membuat Budi panik. Padahal surat itu sudah ditandatangi dan 10 Oktober adalah masa jatuh tempo.
Ia berharap mendapat pertolongan dari agen, tapi agen malah memihak majikan dan justru mengancam mem-black list dia jika coba-coba mengajukan tuntutan. Ia sama sekali tak paham soal hukum. Ia tak tahu bahwa yang berhak mem-black list dirinya adalah pihak Imigrasi.
“Bud, satu-satunya yang bisa menolongmu adalah Konsulat,” ujarku.
“Caranya? Ah, kau seperti tidak tahu saja kalau Konsulat selalu memihak agency?,” kata Budi menyampaikan keraguannya.
Namun ia kemudian minta bantuanku untuk menghubungi KJRI. Bermodalkan nomor ID, alamat rumah ,nomor telepon, nama majikan , nama dan alamat agen Budi, aku menelpon KJRI. Agar majikanku tidak teriak karena aku kong tinwa, Aku masuk ke kamar mandi . Tak lama kemudian aku sudah berbicara dengan seseorang.
“Siang Pak, maaf saya bicara dengan bapak siapa?” tanyaku membalas salam yang diucapkan seorang laki-laki di seberang telepon. Ia kemudian menyebutkan dirinya, Kepala Konsuler KJRI, Ayodhya Kalake.
“Maaf pak, saya punya sedikit masalah,” kataku “Ya, ada masalah apa?” tanyanya sabar
Tak ingin buang waktu, kuceritakan dengan lancar semua yang terjadi pada Budi sehubungan dengan one month notice yang merepotkan itu. Termasuk semua data yang berhubungan dengan identitas diriku, yang berperan sebagai Budi.
“Boleh saya tahu, kapan majikan Anda menandatanganinya?” tanyanya. Waduh, aku lupa tanya ke Budi kapan majikan Budi menandatangani surat itu. Aku juga tak tahu kapan tepatnya tanggal jatuh temponya. “Maaf pak saya lupa,” jawabku sekenanya “Liat saja di lembaran noticenya , tertera disitu kok,”usulnya. Mati aku, mana lembarannya juga aku ga pernah lihat
“Ma…maaf pak, saya tidak berani keluar, takut ketahuan majikan. Sekarang saja saya di kamar mandi, curi waktu untuk bisa menelpon Konsulat,” ucapku beralasan
“Ya sudah, kapan tanggal terakhir yang Anda tulis di notice tersebut?” “Kira-kira seminggu lagi Pak”
“Yang punya masalah ini sebenarnya Anda apa teman?,” tanyanya mulai curiga.
“Ya saya dong pak, ngapain saya repot-repot ke kamar mandi hanya untuk orang lain?” kelitku.
“Baiklah, saya akan hubungi agen dan majikan Anda secepatnya,” jawabnya.
Siang itu, 10 Oktober 2005, Budi menelponku dari Bandara Chi Lap Kok, mengabarkan bahwa dia akan terbang ke Surabaya sore nanti.
Ah, hingga sekarang, aku masih merasa konyol mengingat insiden di kamar mandi itu. Tapi setidaknya, aku berhasil membuat Budi memenuhi keinganannya untuk pulang.
Pejabat yang menjawab teleponku itu sendiri kini sudah dipindahkan ke Jakarta. Aku tak tahu apakah kini ada pejabat di KJRI yang sesabar dia untuk membantu menyelesaikan masalah BMI di Hong Kong.
*) Yukee Muchtar buruh migran Indonesia di Hong Kong asal Jepara. Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Sekar Bumi Hong Kong.




1 comments:
Wow, cerita bagus. P Ayodhya Kalake, good job.
Post a Comment