Tuesday, 28 October 2008

Perspektif

Romantisme Sumpah Pemuda

Rie Rie *)


Kami putra-putri Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Kami putra-putri Indonesia, bertanah air satu, tanah air Indonesia.
Kami putra-putri Indonesia, berbahasa satu, bahasa Indonesia.


DELAPAN dasawarsa sudah kita mengulang-ulang sumpah yang sama, Sumpah Pemuda. Tepatnya di setiap tanggal 28 Oktober di setiap tahunnya. Namun masih adakah greget yang sama di setiap kali pelafalan sumpah tersebut? Ataukah hanya sekadar sebagai perayaan seremonial berlabel “Hari Sumpah Pemuda” yang seperti hari-hari bersejarah lainnya perayaannya tak jauh dari upacara, lomba-lomba, pidato-pidato dan orasi tanpa bukti?
Delapan puluh tahun yang lalu Sumpah Pemuda adalah sejarah bangsa menuju kemerdekaan. Young Java, Young Sumatera, Young Ambon, Young Selebes, dan seterusnya melebur jadi satu dalam Indonesia. Melalui ikrar atau janji atau sumpah sakral, Sumpah Pemuda.

Sumpah Pemuda adalah kesadaran tentang adanya banyak perbedaan/kebhinekaan yang kemudian dipersatukan dalam wujud ke-Indonesia-an. Yang mengingatkan kita semua bahwa Indonesia ini adalah milik bersama, tidak peduli dari kalangan agama atau suku atau ras yang manapun, atau dari kalangan aliran politik yang bagaimanapun.

Perjuangan menuju kemerdekaan dilakukan bersama oleh semua pemuda/masyarakat yang berbhinneka. Ke-tunggal-ika-an sedemikian kental pada waktu itu. Pemahaman akan arti dan makna sumpah pemuda tersebut benar-benar di rasakan oleh semua. Bahwa janji bersama itu harus diwujudkan oleh dan untuk bersama.

Ibaratnya orang yang sedang jatuh cinta, maka saat itulah perasaan cinta pemuda Indonesia diungkapkan. Dituangkan dalam sumpah yang amat terkenal di catatan sejarah Indonesia, sumpah untuk berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu. Sumpah yang merupakan sebuah kontrak politik dari para pemuda untuk bersatu demi bangsa Indonesia. Sumpah yang adalah bukti konkret sejarah kemesraan dan keromantisan pemuda-pemuda Indonesia.

Namun sayangnya setelah 80 tahun berlalu, Sumpah Pemuda sudah menipis maknanya. Kalau Sumpah Pemuda di waktu pertama kalinya ibaratnya seperti mesra-mesranya orang yang sedang jatuh cinta, maka Sumpah Pemuda yang kini diperingati setiap tahun setelah ‘pernikahan sakral’ pada tanggal 17 Agustus 1945 itu seperti halnya sebuah rumah tangga dengan pondasi rasa pengertian dan respect yang mulai keropos. Pemuda-pemudanya mulai memalingkan cintanya kepada bahasa-bahasa gaul demi kelancaran pergaulannya daripada bahasa persatuan negaranya. Pemuda-pemudanya lebih suka berselingkuh dengan budaya-budaya asing yang kadang menyesatkan daripada mendalami dan mencintai budaya negeri sendiri. Agama dan aliran kepercayaan yang beragam yang cenderung berseteru satu sama lain, berusaha saling menjatuhkan. Gerakan pemuda yang ada dulu berorientasi pada civil society kini gerakannya lebih bernuansa pada praktik politik praktis, mengabaikan agenda-agenda kerakyatan. Sedang partai-partai politik yang telah ada dan menjamur hanya mampu, maaf, ‘beronani’ politik, berpolitik sebatas gembar-gembor dan janji muluk ini-itu tapi miskin realisasi.

Pelbagai persoalan tersebut cukup memberi isyarat bahwa nation building kita belum selesai. Porak-porandanya bangsa dari disintegrasi, konflik sosial, sampai terorisme adalah “PR” yang harus serius ditangani. Substansi Sumpah Pemuda nyata-nyata telah diingkari generasi saat ini. Kita sadar, sejarah mencatat bahwa pemuda adalah agen garda depan dalam setiap perubahan. Sejak pra-kemerdekaan, dalam peristiwa yang monumental (Sumpah Pemuda, revolusi kemerdekaan 1945, dan gerakan reformasi yang berhasil menggulingkan rezim neo-fasisme Orde Baru), pemuda Indonesia menjadi pelopor dan penggerak perubahan. Gerakan-gerakan itu muncul karena kuatnya idealisme pemuda. Tak salah jika pemuda menjadi kebanggaan tersendiri di negeri ini.

Realitas perjalanan bangsa yang melanda negeri kita dalam beberapa tahun terakhir ini rasanya berjalan terbalik. Jika dulu orang rela dan berani berkorban demi bangsa dan tanah air, kini justru makin banyak yang justru mengorbankan bangsa dan tanah air demi kepentingan golongan saja. Kemenonjolan yang kini ada adalah kemenonjolan berbhinneka tanpa tunggal ika, penonjolan kekuatan golongan atau kelompok.

Realitas masyarakat kita yang bhinneka belum banyak dipahami sebagai realitas yang telah membangun kita menjadi sebuah negara-bangsa yang satu. Padahal, Sumpah Pemuda yang terdiri dari tiga ikrar pada hakikatnya adalah sumpah untuk membangun Indonesia dalam kebhinnekaan/keragaman, baik keragaman agama, suku, golongan, partai, ras, adat, budaya, bahasa, dan lain-lain.

*) Penulis adalah anggota Sekar Bumi dan saat ini bekerja sebagai buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong.

0 comments: