Tuesday, 2 December 2008

Krismon Datang, Krismon Datang

Tarini Sorrita


PAGI Minggu ini mulai dingin di Victoria Park. Angin bertiup menebarkan beku di persendian. Mendung di langit menggantung berwarna kelabu, sendu. Pohon-pohon kelabu.
"Sst… lihat itu, Tante Sarmila sudah datang. Minggu ini berita apalagi yang akan ia bawa ya?" Mbak Minah, seorang BMI kawanku satu penampungan dahulu di Malang sana, yang sedari tadi mengobrol denganku, tiba-tiba menyetop obrolan kami.

"Sugeng enjang, Mbak-mbak?" aku mengernyit mendengar sapa Sarmila, tumben sekali ia memakai bahasa Jawa begitu. Biasanya ia selalu mengucapkan sapa dengan Kantonis yang sangat benar menurut dia.

"He… tumben sampeyan njawani begitu, Yu?" Mbak Minah menyindir Sarmila. Tapi Sarmila tidak tertawa, tidak pula marah. Ia seperti sedang tidak seperti biasanya. Sedikit-sedikit ia mendesah, ada yang mengganjal di hatinya. Mbak Minah merasakan hal itu juga, tapi ketika dengan ba-bi-bu Mbak Minah mengorek keterangan dari Sarmila dan hampir berhasil membuat Sarmila menjawab, kalimat Sarmila malah hanya menggantung karena teriakan Komsatun yang meraung-raung berlari kea rah kami minta tolong.

Ketika Komsatun sampai dan duduk berjajar dengan kami, ia tidak segera bercerita. Komsatun malah menangis. Aku termangu menyaksikannya. Cukup lama ketika Komsatun lalu menjelaskan kalau hari Jum'at lalu ia baru saja utang di bank, lalu siangnya majikan pulang ke rumah dan pingsan.

"Lalu? Kenapa engkau yang malah keranjingan begitu?" bertanya kami hampir bersamaan.
"Satu, majikanku pingsan karena di-PHK dari kerjaannya. Dua, karena dengan begitu dia tidak bakalan punya duit buat mengganji pembantunya. Tiga, hutangku yang baru ku-renew sudah kukirim ke kampung semua, sudah habis. Empat, aku kena pecat, sebulan lagi mesti cabut dari rumah majikan. Lah majikan kena pecat masih ada yang membantu. Lah aku? Aku siapa yang membantu?" lalu huhhuuhu Komsatun melanjutkan tangisnya.

Sungguh, bila ada nilai kesetiakawanan yang sangat dalam, aku hanya percaya nilai itu begitu kuatnya ada pada kedua kawanku si Sarmila dan Komsatun. Ketika yang kubisa hanya termangu, Sarmila menangis juga, terisak-isak.

Aku hendak berusaha membuat mereka diam ketika Sarmila, di sela tangisnya mengucap kalimat yang rupanya sempat ditunda tadi, "Kita sama Tun. Aku pun kena pecat. Bedanya aku dipecat hari ini juga. Majikanku gulung tikar berlipat-lipat katanya. Aku mesti keluar hari ini juga."

Apa lagi yang bisa ditangisi dari sebuah kemalangan yang bersamaan? Apalagi yang masih bisa diharapkan dari pemecatan-pemecatan yang seperti mewabah di sekitarku kini?
Apakah warna nasib yang sesungguhnya digariskan Yang Kuasa, ketika yang kulihat hanya gelap. Hari ini, aku pun harus menelan pil pahit pemecatan itu.

Aku menulis, aku sedang berusaha memahatkan kegetiran ini kepadamu, kawan. Hanya sekadar upaya merapalkan lagi kemalangan-kemalangan ini sehingga ada catatan tercecer yang bisa kujadikan alat mengenangkan semua ini.

Kemudian seterusnya, mungkin ceritamu, mungkin ceritaku, cerita Sarmila, cerita Komsatun, cerita kita akan ada maknanya bila tiba masanya nanti… aku tak tahu pasti kapan waktu itu datang.

0 comments: