Namaku Sundari
Etik Juwita*)
NAMAKU Sundari, umurku 25 tahun, cukup usia untuk kawin. Kapan hari, ibu yang kutelepon bilang, di kampung tidak ada lagi gadis sebayaku yang masih belum menikah. Kukira jadi perempuan memang susah.
Aku babu Hong Kong. Bukan karena aku suka bekerja jadi pembantu, tetapi ini adalah pilihan paling bagus yang ada padaku daripada harus menjadi pembantu di Tanah Airku sendiri. Kau tentu tahu, jadi babu di Indonesia itu berarti jadi budak. Apa boleh buat, sampai kini, sampai aku setua ini keadaan itu tidak sangat berubah.
Aku memutuskan menuliskan kisahku bukan tidak ada sebabnya, Saudara. Setelah sejarahku yang suram sebagai manusia, aku berharap akan ada yang memberikan padaku satu keadilan. Biarpun sedikit, biarpun hanya kedilan yang cacat…
Aku sampai di Hong Kong ketika penyakit mematikan SARS sedang merebak dengan gila. Ada berita-berita yang kadang disiarkan di televisi pada jam istirahat di penampungan mengatakan Hong Kong sedang kena penyakit menular yang bisa bikin mati orang. Aku takut, tapi aku lebih takut harus tinggal di penampungan lebih lama.
Mediami penampungan untuk kurun waktu sepuluh bulan tanpa diberi kesempatan untuk mengetahui dunia di luar penampungan, kalau kau ingin tahu, sengsaranya lebih dari menjadi tahanan, narapidana, pembunuh orang misalnya. Benar, untuk memasuki penampungan ini aku tidak harus meminta persetujuan siapa-siapa. Pun tidak bergantung pada keputusan siapa-siapa. Tapi menjalani kehidupan di penampungan terasa sangat menyakitkan bagiku. Aku telah menjalani hukuman untuk sebuah kejahatan yang mana? Karena aku miskinkah?
Ah, maaf, sebentar tadi aku telah terbawa emosi. Begitulah, setiap kali aku memutar perjalananku selama ini, selama itu pula aku akan teringat situasi awal yang membuat aku jadi begini. Selama ini sudah pula ingin kuhapuskan saja kenangan-kenangan itu. Aku berharap dengan membuang kenangan-kenangan itu, dan menindihnya dengan kenangan yang baru kemudian aku bisa merasa telah tidak diperlakukan sebagai tahanan. Tapi bisakah kenangan yang seperti telah lebur itu lenyap begitu saja, sementara masih saja ada kenyataan-kenyataan yang melemparkan aku dan membuatku tersadar dan merasa, "Aku pernah merasakan hal itu dahulu."
Kemarin, setelah lima tahun aku berkerja di Hong Kong ini, kudengar berita tentang tetanggaku di kampung yang ingin bekerja sebagai TKW di Hong Kong berusaha kabur dari penampungan dengan meloncat benteng penampungan, sekarang ia di rumah sakit, perutnya robek terkena pagar kawat besi yang melingkari penampungan.
Ketika kutuliskan kisah ini, negara Hong Kong sedang gencar-gencarnya memberitakan tentang kelebihan uang yang selama ini dikumpulkan. Salah satunya hasil dari pajak yang dipotong dari gaji pembantu rumah tangga asing. Uang itu masih utuh, jumlahnya mungkin bisa untuk membangun sekolah dan rumah sakit kalau di Indonesia. Tapi ini uang pemerintah Hong Kong, kita mana mungkin mengirimkannya ke Indonesia. Sarmila Gadis Kota, temanku yang suka memermak rambutnya di salon, kemarin sempat berseloroh, katanya, "Haimeh? Uang sebanyak itu mungkin cukup ya buat rebounding rambutku satu helai satu hari sampai aku tua?"
"Sampai rambutmu abis, maksudnya?" potong Komsatun Gadis Desa. Kedua kawanku itu memang tidak pernah akur, kami yang mendengar celetuknya ketawa koor.
Bersambung….
Tuesday, 29 April 2008
Balada Sundari (1)
Balada Sundari merupakan cerita bersambung yang dimuat di Buletin 'JANGKAR' Sekar Bumi Hong Kong. Cerita ini akan secara rutin hadir setiap bulan bersama terbitnya JANGKAR.
*) Penulis adalah Sekjend Sekar Bumi Hong Kong
Labels: SERIAL SUNDARI
1 comments:
Namaku Rie Rie. Aku juga babu Hongkong. Salam kenal ya!!
Post a Comment