Tuesday 29 April 2008

Balada Sundari (2)

Batal Ngurus Paspor

Rubi Setiadinanti *)

AKU berjalan tergesa menuju gedung Konsulat Jendral Republik Indonesia, ketika jarum jam sebentar lagi menunjuk ke arah angka dua. Menurut koran yang aku baca kemarin, KJRI mulai bulan April buka pada hari Minggu, mulai pukul 12:00 siang sampai pukul 03:00 sore.

Udara sedikit panas, kuseka keringat yang membasahi keningku. Di dalam tas terdapat paspor, foto, formulir, serta kwitansi pembayaran untuk perpanjang paspor.

“Semuanya telah lengkap, formulir juga telah aku isi, tinggal menyerahkan saja dan beres,”pikirku. Jarum jam tepat menunjuk ke arah angka dua ketika aku sampai di depan pintu gerbang KJRI. Namun alamak… tutup? Pekikku dalam hati. Hatiku benar-benar dongkol. “Sudah berpanas-panas datang, eh… malah tutup lagi,”gerutuku. Dan dengan perasaan mangkel aku segera melangkah pergi meninggalkan gedung KJRI.

Di perempatan dekat Warung Malang, aku bertemu dengan dua sahabatku, Sarmila dan Komsatun. Dengan wajah penasaran, mereka menegurku.

“Ada apa Sundari, wajah kamu kok kusut seperti kecoak ngesot?,” ledek Sarmila. Dengan serta merta Komsatun segera mencubit lengan Sarmila dengan keras.

“Auw…,” jerit Sarmila. Aku tersentak kaget. Meski masih dijalari perasaan dongkol, aku mencoba tersenyum melihat ulah dua sahabatku yang tak pernah akur itu. Lalu dengan diliputi rasa mangkel aku menceritakan kejadianku barusan.

“Kalian bisa membayangkan nggak, bagaimana perasaanku? Sudah berpanas-panas datang, eh… malah tutup lagi. Sementara pasporku tinggal satu bulan lagi habis. Sedangkan kalian tahu sendiri kan? Aku nggak bisa keluar selain hari Minggu. Nenek yang aku jaga lumpuh, sedangkan mau minta tolong agen pasti dikenai biaya 200 dollar, sementara kalau minta tolong toko sebelah dimintai ongkos 160 dollar, itu belum termasuk ongkos foto. Uang segitu kok dikasihkan orang. Buat makan atau beli kartu telefon, enak. Bisa kenyang dan bisa nggedebus di telfon,” ungkapku berapi-api.

Dengan mimik wajah serius Komsatun menimpali, “Hoalah begitu to... lha iyo, kalau belum siap mbokyao jangan digembar-gemborkan di koran.”

Sementara Sarmila dengan wajah tanpa dosa menjawab, “Kasihan temen-temen yang lain, sudah berpanas-panas datang, eh… ternyata malah tutup, jian ngenes tenan.”

Aku hanya bisa senyam senyum sendiri melihat ulah dua sahabatku yang tiba tiba akur. Namun tiba tiba Komsatun nyeletuk, “Bagaimana kalau kita menggalang massa untuk demo di depan KJRI?”

“Iya, atau kita buat tulisan di koran tentang kejadian ini?,” Sarmila tak mau ketinggalan.

Sementara aku hanya membisu sebelum akhirnya aku melihat sosok yang sepertinya bisa menolongku.

“Eh mbak, tolong muatin berita di koran ya.., teman saya ini tadi datang ke KJRI mau ngurus paspor. Tapi ternyata KJRI-nya sudah tutup,”cerocos Sarmila sambil menunjuk ke arahku setelah kukasih tahu kalau perempuan itu adalah wartawan.

Mbak itu lalu memandangku. “Benar kamu tadi ke KJRI, tapi KJRI tutup?”tanyanya. “Benar mbak..,” sela Komsatun. Dan aku masih diam membisu.

“Lha, kamu sudah lihat pintu samping belum? Setahuku yang dibuka cuma pintu samping,” ungkapnya.

Sambil menunduk, aku menjawab, “Belum.” Jawabanku langsung membuat wajah Sarmila dan Komsatun melongo bengong dengan muka merah, hijau, kuning layaknya lampu stopan.

“Tapi sepertinya hari Minggu cuma bisa ambil paspor,” ujar mbak itu lagi sambil berlalu.

“Lahhhh…,” ujar Komsatun dan Sarmila bebarengan. Aku sendiri langsung lemas, mengulang warna lampu stopan, tapi kali ini hanya warna kuning. Duh…KJRI.


 bersambung...

*) Penulis adalah koordinator bidang Seni & Jurnalistik SEKAR BUMI Hong Kong


0 comments: