Monday 5 May 2008

Opini

Bukan Sekadar Tuntutan Tahunan

Rie Rie *)


PERNAHKAH Anda berada di bundaran HI atau di depan gedung DPR atau di depan Istana Negara ataupun daerah-daerah kantong lainnya yang menjadi simbol negara pada tanggal 1 Mei? Kalau jawabnya belum, cobalah lihat melalui layar TV Anda. Menakjubkan bukan?

Hanya di satu tanggal yaitu tanggal 1 Mei sepertinya buruh mendadak menjaadi sosok terkenal, bahkan boleh dibilang melebihi terkenalnya artis nas
ional kita. Kemenderitaannya mendadak menjadi sorotan dan kajian terlaris sehari.

Sepertinya apa yang dikatakan oleh John Lennon dalam lagunya yang berjudul Power to The People menjadi kenyataan.



Oh, when your man is working for nothing
You better give ‘em what they really own
We got to put you down
When we come into town

Banjir manusia meneriakkan tuntutan-tuntutan. Menuntut kesejahteraan, menghentikan penghisapan, menuntaskan penindasan. Walau pemimpin negeri tak pernah hadir, ribuan buruh tetap berada di jalan dikawal ketat oleh bapak-bapak berseragam coklat dan juga pagar kawat berduri. Ya memang, menuntut itu tidak mudah, tapi kalau tidak menuntut kapan ada perubahan?

Sayangnya, perubahan itu hanya terjadi disaat tuntutan masih panas-panasnya. Begitu tuntutan sudah berkurang kadar kepanasannya menjadi hangat atau suam-suam kuku saja, maka kembali lagi pada awal muasalnya. Dan kita harus memulai lagi, menuntut lagi. Demikian seterusnya.
Bukankah yang demikian itu sama halnya dengan me-refresh sebuah halaman yang kita kunjungi di website? Sama, tidak ada bedanya.

Kalau begitu kesan yang didapat dari 1 Mei atau yang juga dikenal sebagai Mayday, adalah kegiatan tuntut menuntut itu seperti seremonial saja, seperti kegiatan perulangan tahunan yang dilakukan oleh rakyat biasa yang dalam hal ini adalah buruh kepada pemerintahan yang hampir beku untuk menerima tuntutan.
Rupanya pemerintahan yang katanya bersifat demokratis itu ternyata belum demokratis sepenuhnya. Kesadaran pemerintah untuk melindungi buruh belum sepenuhnya dijalankan, seperti halnya masih menyumpal sehingga perlu desakan yang kuat untuk mendorong keluar sumpalan tersebut.

Penyampaian tuntutan, dalam bentuk demonstrasi jalanan, merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan sumpal tersebut. Tapi tentunya tuntutan yang disampaikan mesti didasarkan pada kepentingan bersama dan bukan demi kepentingan golongan ataupun pribadi semata. Tuntutan yang bukan hanya bersifat sebatas untuk memenuhi kebutuhan perut semata seperti tuntutan kenaikan gaji/kesejahteraan saja tetapi juga lebih kedalaman pada pembenahan kepemerintahan.

Itulah sebabnya pengorganisasian di dalam buruh itu sekarang sedemikian pentingnya. Sehingga buruh tidak sekadar bersuara sendiri, menuntut sendiri, tapi bersama-sama bersuara, bersama-sama menuntut. Karena kalau seorang buruh bersuara sendiri suaranya akan sangat kecil, hampir tak terdengar atau tidak didengarkan.
We (seperti dalam lagu Power to The People-nya John Lennon), yaitu kita/buruh. Dan hanya oleh kita, golongan buruh/pekerja yang bersatu(buruh bersatu) sebagai satu kelas/serikat yang sadar. Dan sebaiknya juga kalau serikat buruh ini dipimpin oleh dan dari kelasnya sendiri, karena hanya pemimpin oleh dan dari kelasnya sendirilah yang lebih mengetahui dan mengerti keinginan sebenarnya dari para buruh.

Sebaiknya, kalau menuntut ini bukan hanya dilakukan setiap tanggal 1 Mei saja, dan bukan sekadar tuntutan tahunan akan tetapi lebih dimaknai menuntut setiap adanya kejanggalan atau ketidakberesan yang terjadi.
Dengan demikian akan terjalin pola saling mengoreksi antara pemerintah sebagai penyelenggara negara dengan masyarakatnya. Sehingga kita dapat membina sebuah masyarakat sekaligus pemerintahan demokrasi yang benar-benar bebas, adil dan seksama dengan SEGERA! Selamat Hari buruh sedunia! ***

*) Penulis adalah anggota Sekar Bumi bidang Sastra dan Jurnalistik. Saat ini bekerja sebagi buruh migran Indonesia di Hong Kong




0 comments: