Wiji Thukul
Berjuang Lewat Puisi
Tugiyah *)
SOSOKNYA tidak terlalu dikenal. Mungkin karena ia bukan pejabat penting di negeri ini. Nama aslinya Widji Widodo, tapi orang kemudian lebih mengenalnya sebagai Wiji Thukul. Ia lahir di Solo, 26 Agustus 1963.
Ia terlahir sebagai anak seorang tukang becak, tapi ia menyukai puisi, juga teater. Lewat puisi dan kelompok teater yang ia namai Sanggar Suka Banjir, ia mulai menjalin dengan keakraban dengan petani, buruh, kaum miskin kota, hingga aktivis mahasiswa.
Lewat puisinya, ia menyerukan kebebasan dan berteriak tentang keadilan. Ia selalu gemas melihat ketidakadilan yang terjadi di sekelilingya, terlebih kepada orang-orang kecil. Ia memimpikan sebuah masyarakat yang adil dan ia berjuang untuk itu.
Namun lambat laun, sadar bahwa perjuangannya tak mungkin sendiri, ia mulai bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Partai ini oleh rezim Soeharto dituding sebagai partai pemberontak, komunis, hingga anarkis, karena sikap mereka yang jelas anti-Soeharto dan anti-militerisme.
Pada Juni 2006, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) yang merupakan organisasi buruh di bawah PRD melakukan aksi mogok buruh di dua kawasan industri Surabaya. Dalam aksi tersebut, tiga aktivis PRD Dita indah sari, Coen Husain Pontoh dan Soleh ditangkap dan dipenjarakan.
Penangkapan ini kemudian menjadi awal perburuan dan pemorakporandaan PRD oleh rezim Soeharto, dan juga berimbas pada hilangnya Thukul.
Pergolakan di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI), antara kubu Soeryadi yang dan kubu Megawati telah menyeret “keterlibatan” PRD.
PRD merasa inilah masanya untuk mengakhiri Orde Soeharto yang korup dengan memberikan dukungan dalam aksi mimbar bebas yang di lakukan PDI pro-Megawati.
Hal ini dianggap ancaman bagi pemerintahan Soeharto. Sehingga pada tanggal 27 juli 1996, kantor PDI di Jl. Diponegoro diserbu pasukan tak dikenal. Banyak korban berjatuhan. PRD dituduh terlibat dalam kerusuhan itu.
Beberapa pengurus dan ketua PRD Budiman Sujatmiko kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Sementara Thukul tak jelas rimbanya. Namun puisi-puisinya tetap diperbarui.
Hingga pada Mei 2008, saat menjelang pengunduran diri Soeharto, Thukul terlihat kembali.
Pada saat turunnya Soeharto, banyak kerusuhan di mana-mana, toko dijarah dan dibakar. Banyak perempuan etnis Tionghoa diperkosa.
Setelah Soeharto terguling, Thukul kembali menghilang. Menurut beberapa sumber, ia diculik bersama aktivis lain oleh Pasukan Mawar, Kopassus yang saat itu dipimpin oleh Wibowo Subianto, menantu Soeharto.
Hingga kini, ia tak kembali. Ia meninggalkan dua anak , Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah, serta seorang istri yang biasa di panggil Mbak Pon.
Puisi-puisi Thukul mendapatkann sejumlah penghargaan, diantaranya penghargaan dari Belanda, Wertheim Award dan Yap Thian Hien Award asts sumbangannya terhadap perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sampai hari ini tidak ada yang tahu di mana, dan bagaimana keadaan Thukul. Namun semangat dan puisi-puisinya selalu menjadi sebuah kekuatan untuk menumbangkan ketidakadilan, penindasan, dan kesewenang-wenangan.
Coba baca petikan puisinya yang berjudul “Bunga dan Tembok” di bawah ini. Betapa kuat pesan yang disampaikan Thukul bahwa kesewenangan, dimanapun tempatnya, harus dihentikan.
...
Jika kami bunga engkaulah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebari biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: Engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun” Tirani harus tumbang”.
*) Penulis adalah anggota Sekar Bumi Bidang Sastra dan Jurnalistik. saat ini bekerja sebagai buruh migran Indonesia (BMI) Hong Kong
Wednesday, 28 May 2008
Profile
Labels: OPINI
0 comments:
Post a Comment