Wednesday, 4 June 2008

Balada Sundari

Dilema Sundari

Ruby Setiadinanti*)


SIANG yang tak begitu panas, matahari pun tak begitu terik, dan malahan sedikit gerimis. Namun tetap tak menyurutkan langkah kakiku yang siang itu akan mengikuti aksi turun ke jalan.

Aku beserta dua sahabatku, Sarmila dan Komsatun, jauh jauh hari telah sepakat untuk ikut demo untuk menyuarakan tuntutan kenaikan gaji, mendesak penghapusan aturan dua minggu, dan menolak potongan gaji tujuh bulan. Seperti isi selebaran yang aku perolah beberapa hari sebelumnya.

Dengan langkah seribu, siang itu aku menuju bundaran air mancur, tempat kami sepakat untuk berkumpul.

Namun setelah aku berkeliling mengitari air mancur, tak kutemukan juga sosok mereka berdua. Dan akhirnya aku mencoba menghubungi HP Sarmila.

“Halo, kamu dimana Sarmila?” tanyaku.
“ Di lapangan sepak bola, kamu kesini ya! Ada acara seru,” katanya dan langsung menutup HP. Tut tut tut...

“Sialan,” gerutuku.

Namun ketika aku hendak melangkahkan kakiku, tiba-tiba HP-ku bergetar.

“Halo..,” sapa ku.
“Sundari kamu ke lapangan rumput ya, pentas panggungnya sudah dimulai dari tadi, kutunggu di sini,” suara Komsatun di seberang.
“Lho apa kamu tidak bersama Sarmila?” tanyaku.
“Tidak,” jawabnya sewot.

Aku langsung menebak ada something wrong dengan mereka berdua. Seperti pembaca ketahui, dua sahabatku ini tidak pernah akur semenjak dalam kandungan. Akhirnya aku hanya diam tak beranjak dari tempatku. Karena setelah itu, HP-ku terus-terusan bergetar. Ketika aku angkat, ternyata Sarmila menyuruhku ke lapangan sepak bola, sementara Komsatun menunggu aku di lapangan rumput. Dan yang membuatku semakin bingung, mereka saling ngotot untuk menjemputku datang ke tempat mereka masing masing.

Dan benar kawan, mereka berdua datang. Namun Komsatun terlambat tiga menit sehingga ketika aku sudah hampir sampai lapangan sepak bola bersama Sarmila, Komsatun datang dengan wajah bersungut-sungut sambil melabrak Sarmila.

Pertengkaran tak terhindari.
Aku yang dijadikan sebagai bahan rebutan cuma diam hingga akhirnya kulihat rombongan BMI memakai kaos berwarna hitam dan hijau sedang melintas sambil membawa spanduk hitam bertuliskan “Buruh Bersatu, Buruh Pasti Menang!”

Spontan aku teriak ,“Diam!” hingga dua sahabatku itu langsung bungkam tak bersuara “Kalian lihat tulisan itu nggak?” kataku kepada mereka sambil menunjuk spanduk yang sudah terpasang di dekat jarring gawang bola. Dengan spontan mereka berdua memandang spanduk itu.

“ Kalian ngerti nggak sih maksud tulisan itu?” tanyaku dengan nada jengkel. Bersamaan mereka menjawab, “Ngerti!”

“ Lha iya, kalau kalian ngerti kenapa kalian mesti ribut? Belum demo saja sudah eyel-eyelan sendiri, bagaimana mungkin tuntutan kita nanti akan menang?” tanyaku sambil memandang dua sahabatku itu.

Namun tiba-tiba Sarmila nyeletuk, “Lalu bagaimana dengan mereka yang mengadakan acara? Mengapa mereka nggak bersatu saja sehingga kami nggak perlu bertengkar?”

“ Lha iya, kenapa mereka nggak jadi satu saja biar tuntutan kita cepat terpenuhi? Mengapa mesti ada dua acara kalau tujuan nya sama?” Komsatun tak mau kalah.
Mendengar ini, aku terdiam sebelum akhirnya aku menjawab, “Itu urusan mereka, yang penting kalian bisa nggak sih bersatu?”

“ Bisaaa” tiba tiba suara koor jawaban itu menggaung di sekelilingku, yang ternyata suara itu berasal dari para BMI lain, yang semenjak tadi menyaksikan pertengkaran dua sahabatku.

Aku baru menyadari bahwa banyak manusia disekelilingku,yang membuatku segera ambil ancang ancang, untuk beraksi. “Buruh bersatu, buruh pasti menang. Buruh bersatu tak bisa dikalahkan!” teriakku sambil bergabung dalam barisan yang mulai jalan.

*) Ruby Setiadinanti bekerja sebagai buruh migran Indonesia (BMI) Hong Kong. Saat ini aktif di Organisasi Sekar Bumi sebagai koordinator bidang Sastr & Jurnalistik.

0 comments: