Tuesday, 3 June 2008

Opini

Buruh Migran dan Identitas Budaya

WD. Anan *)


ADA yang menarik jika melihat aksi “jalanan” para Buruh Migran Indonesia (BMI) dalam memperingati Hari Buruh Sedunia 1 Mei lalu. Selain membawa tuntutan soal kenaikan upah dan meneriakkan yel-yel perbaikan nasib buruh migran, beberapa di antara mereka juga tampil dalam berbagai macam gaya dan atraksi.

Sebenarnya penampilan atraktif itu tak hanya muncul dalam aksi 1 Mei. Hampir dalam setiap aktivitas BMI, politis maupun nonpolitis, BMI tampil dengan kreasi seninya, mulai dari atraksi tari-tariannya itu, baik tari modern, traditional bahkan tarian impor yang sekarang lagi digandrungi yaitu hip hop.

Disadari atau tidak, terutama dalam hal pertunjukan tari tradisional, BMI punya andil besar dalam mengenalkan Indonesia ke dunia luar. Coba bayangkan, pada waktu ada BMI yang menari tarian tradisional dengan busana yang unik dan dandanan yang antik serta membawa kuda-kudaan. Pastilah orang yang bukan orang Indonesia akin merasa kagum bahkan keheran-heranan. Karena mereka tidak mengenal apa itu. Tapi jika yang melihat itu orang Indonesia sendiri, jelas sudah tidak asing lagi. Dan orang itu akan bilang, “O..itu tari jaranan”. Dan itu memang benar.

Dari situ mau tidak mau kita harus mengakui bahwa BMI punya peran dalam memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia luar. Sehingga aneh jika masih ada pandangan sinis yang melihat BMI sebagai warga kelas dua.
Di samping sebagai “penyetor devisa” paling besar, BMI sebenarnya adalah pelestari budaya yang bisa dipercaya.
Misalnya saja saat sejumlah BMI dari Sekar Bumi tampil dalam event yang digelar komunitas Hong Kong dengan tarian tradisional yang mereka bawakan, penonton dibuat takjub dengan atraksi tarian tersebut juga piranti kendang yang mereka bawa.

Bahkan ada juga BMI yang menanyakan apakah benar Indonesia mempunyai tarian tradisional seperti itu. Karena memang mereka belum pernah mengenalnya. Ketidaktahuan banyak masyarakat Indonesia soal budaya sendiri ini kadang membuat bangsa lain gampang mengklaim karya seni Indoensia sebagai milik mereka.

Tahun lalu misalnya, terjadi polemik atas pengakuan Malaysia terhadap Angklung sebagai salah satu aset budaya mereka. Pengakuan/klaim dari Malaysia sendiri sebenarnya tidak secara langsung dicetuskan oleh para pejabat, budayawan, seniman maupun masyarakat Malaysia sendiri. Tapi klaim ini secara tidak langsung dilakukan dengan cara menampilkan permainan angklung dalam salah satu segmen iklan promosi pariwisata Malaysia yang beredar kemana-mana.
Menggelikan memang, Indonesia sebagai bangsa yang memiliki seni budaya yang besar pula dengan mudah kecolongan. Padahal jelas, kesenian angklung itu berasal dari daerah Jawa Barat.

Mengetahui persoalan seperti ini apakah sebagai BMI Hongkong yang mempunyai peluang untuk berekspresi diri lebih banyak jika dibandingkan dengan BMI di negara lain, akan diam saja? BMI adalah warga negara Indonesia juga maka marilah bersama-sama memposisikan diri tidak sekedar menjadi BMI dan penyumbang devisa negara saja tapi juga “nyambi” menjadi duta budaya bangsa.

*) Penulis adalah ketua Sekar Bumi Hong Kong. Saat ini bekerja sebagai buruh migran Indonesia di Hong Kong

0 comments: