Kenaikan BBM dan Nasib BMI
Rie Rie
Alaaaah... sampeyan kuwi ora neng Indonesia, dadi ora terpengaruh karo kenaikan BBM tho?” (Alaah kamu itu tidak di Indonesia, jadi ga’ terpengaruh dengan kenaikan BBM, khan?)
Pertanyaan yang lebih serupa pernyataan tersebut kerap meluncur dan tertuju kepada Buruh Migran Indonesia (BMI),juga kepada kita yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Hong Kong.
Keberadaan kita yang jauh dari negeri sendiri dan tidak memungkinkan kita untuk melihat dampak langsung dari kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadikan kita terpojokkan karena kita hanya menerima laporan saja. “Lombok sekilo Rp. 13.500,- trus minyak goreng sekilo Rp. 17.000,- trus bensin seliter Rp. 6.500,-…” dan sebagainya, dan seterusnya yang intinya karena adanya kenaikan harga BBM maka semua kebutuhan otomatis melambung tinggi seperti balon gas saja.
Dan apakah benar kalau kenaikan harga BBM tersebut tidak berdampak pada para BMI di Hongkong? Jawabnya, “Jelas Berdampak!” Keberadaan yang jauh bukan berarti kalau kita lepas dari dampak kenaikan BBM tersebut. Nalarnya?
Bukan rahasia lagi, keberadaan BMI adalah untuk menyokong kebutuhan rumah tangga. Keluh kesah yang didengar dari keluarga di kampung menjadikan kita trenyuh dan mikir yang akhirnya berbuntut dengan pengiriman uang yang lebih besar dari biasanya. Pengiriman uang yang lebih ini diharapkan mampu sedikit menutupi harga barang-barang yang mabur tanpa suwiwi (terbang tanpa sayap) ini.
Nah, yang menjadi masalah adalah gaji kita di Hongkong ini tetap. Sampai saat ini gaji standar PRT asing di Hongkong adalah HK$ 3.480,- Walaupun demo telah digelar sejak Mei lalu demi menuntut kenaikan gaji karena dianggap perekonomian di Hong Kong sudah membaik, tetapi tetap saja jatah gaji tak bergerak naik dari apa yang telah ditetapkan sejak 1 Juni 2007.
Memang, naiknya harga BBM juga berakibat naiknya nilai rupiah di Hong Kong. Ini artinya bila BMI menukar uangnya hasilnya akan lebih banyak dari biasanya. Tapi itu bukannya berita yang menggembirakan lha wong uang yang dikirimkan juga lebih banyak kok. Lagipula lha wong keluarga di rumah sengsara karena harga-harga yang mabur tanpa suwiwi itu, masak kita yang kerja di Hongkong ini ga’ ikut mikir?
Seandainya saja kenaikan harga BBM dibarengi dengan kenaikan gaji, kemungkinan untuk nggrundel itu mungkin berkurang. Dengan gaji yang tetap, pengeluaran yang naik, pikiran yang tentu saja separuhnya mikir orang rumah serta peraturan dan himpitan kerja, hal itu semakin menyesakkan rongga pikir para BMI saja.
Sepertinya kok lucu sekali kalau di negara penghasil minyak tetapi mempunyai harga minyak yang tinggi. Adilkah itu? Bukankah bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah milik negara yang digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti bunyi pasal 33 UUD’45 itu?
Jadi apakah yang digarisbawahi hanyalah kata “milik negara”? Lalu “kemakmuran rakyat”-nya tanpa garis bawah?
Adakah jalan keluar lain selain menaikkan harga BBM? Apakah ini titik dari ketidakberdayaan pemerintah dalam menanggulangi masalah? Atau sekadar pemaksaan pensejajaran harga BBM sesuai dengan harga BBM dunia saja?
Seandainya saja kenaikan harga BBM ini tidak diikuti oleh kenaikan harga-harga yang lain, mungkin keadaan bisa stabil. Paling-paling dari yang kemarin simbok bakul jamu atau si mas bakul siomay yang adalah (mungkin saja) emak dan suami dari salah satu atau dua atau tiga BMI di Hongkong ini, yang dulunya sewaktu jualan pakai sepeda motor, terus karena naiknya harga BBM jadi naik sepeda onthel. Yah, hitung-hitung olahraga dan upaya penghematan BBM sekaligus pengurangan pencemaran lingkungan. Lha tapi kalau harga kunir dan asem juga tepung naik juga, kapan dapat untungnya? Nunggu yang datang dari Hongkong saja? Kou meng ngoo…!
0 comments:
Post a Comment