La Santi
Oleh: Etik Juwita
Yang akan kita bicarakan ini adalah kisah seorang perempuan muda yang bekerja pada seorang seniman buntung, yang karena kesenimanannya merasa perlu untuk menyimpan potongan kakinya di dalam kulkas.
La Santi, demikian nama perempuan itu. Dulu semasa dirinya belum bekerja ke luar negeri namanya Suminten. Tetapi mengingat parasnya yang bisa disebandingkan dengan artis yang paling cantik sekalipun, maka ia pun mengganti namanya sedemikian rupa. “Cantik-cantik kok namanya Mintet” begitu dulu kawan-kawannya sering mengejeknya. Meskipun ketika namanya berganti La Santi kawan-kawannya mengatakan; “Kayak nggak ada nama lain aja! Masak milih nama kok Santet” Santi hanya tersenyum menanggapi kawannya waktu itu. Maka begitulah, La Santi ayu, lugu, dan pembantu.
Sebetulnya bila dihubungkan dengan kisah-kisah TKW Indonesia yang bekerja di Hongkong, apa yang terjadi pada diri Santi tergolong biasa-biasa saja. Santi berjumpa majikannya yang seniman itu ketika ia sedang celingukan di pinggiran Victoria Park yang terkenal dengan patung Ratu Victoria yang cemberut itu. Di dekat WC umum, di tengah-tengah keputusasaan karena merasa gagal mendapatkan majikan baru setelah usai kontrak kerjanya dengan majikan lamanya, tiba-tiba seorang laki-laki dengan kaki buntung sebelah, terpincang-pincang mendekatinya. Seperti tahu susahnya Santi, laki-laki yang berambut gondrong lurus dengan jambang tak terurus bermata merah seperti pemabuk yang berhari-hari lupa jalan pulang itu pun meminta Santi jadi pembantunya. “Jika masih bekerja, putuskan saja kontrakmu! Kerja denganku.” katanya. Santi yang sempat geragapan cuma mengagguk-angguk, “I will!” katanya, seperti ketika seorang mempelai wanita mengucap kata sepakat di depan pendeta.
Selanjutnya, Santi yang ayu, dan lugu pun bekerja pada sang seniman. Cuma kemudian Santi tahu ternyata majikannya agak gila ketika pada suatu sore, dengan sengaja Santi melanggar larangan. Santi membuka rak es batu di kulkas yang berisi kaki yang sudah membeku. Kaki manusia! Santi pun jerit-jerit, dan majikan yang sedang memelototi kanvas kosong di ruang gambarnya terseret-seret mendapati Santi yang menunjuk-nunjuk pada rak kulkas yang terbuka. Matanya basah, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil. Dengan santainya, sang majikan bilang “Kenapa? Memang ini kakiku. Terlalu sayang untuk dibuang. Segala bagian diriku bagus dan bernilai seni. Kamu ini seperti orang gila saja. Teriak-teriak begitu. Diamlah!” katanya sembari menutup kulkas. Santi masih terpaku di tempatnya. Penyesalan memenuhi kepalanya. Harusnya ia tak menandatangani kontrak dengan seniman gila ini. Yang sehari-hari kerjanya hanya memelototi kanvas putih tanpa melakukan apa pun. Yang berbicara dengan bahasa hati di depan kanvasnya, dan tiba-tiba membentak Santi untuk pergi setiap kali ia berkelebat sekedar meletakkan air minum buat majikan, atau karena membersihkan abu rokok yang berserakan.
Santi merasa harus memutuskan untuk berhenti bekerja. Tak bisa ia bayangkan harus bekerja dua puluh empat jam serumah dengan seorang seniman gila dalam kurun waktu dua tahun! Ia sudah memutuskan untuk berhenti. Pengalamannya yang bertahun-tahun bekerja di Hongkong membuatnya sudah mengerti cara yang harus ditempuhnya bila hendak memutuskan hubungan kerja dengan majikan. Maka seminggu setelah kejadian membuka almari es, Santi selesai menyusun surat pengunduran diri. Dengan alasan bahwa ia tak doyan makan setiap kali mengingat kaki yang beku dan disimpan di dalam kulkas. Sementara majikannya hanya menganggap ketakutan Santi angin lalu. Tak lebih berarti dari kanvas kosong di ruang gambarnya.
“Jadi, kau pun tak mau merawatku? Katakan padaku, apa yang bisa membuatmu bekerja padaku? Asal jangan suruh aku membuang kakiku, aku akan usahakan untuk memenuhinya.”
“Tapi kaki Tuan yang membuat saya memutuskan untuk berhenti!”
“Bukankah kau pun punya kaki? Kau mujur kakimu ada dan menyatu dengan tubuhmu. Kau cantik tentu saja kakimu pun cantik. Apakah kau rela membuangnya bila kamu harus memilih untuk memotongnya? Ia bagian dari dirimu! Dan kakiku bagian dari diriku. Aku mencintai kakiku. Apakah aku salah? Tolong, tolong jangan pergi. Aku perlu kau, karena kakiku yang kucintai tak menyatu dengan diriku. Aku tak semujur dirimu. Tolong, tolonglah aku. Tolong jangan pergi. Tolonglah…” dan laki-laki yang kaki kirinya buntung selutut itu pun terisak. Santi jadi salah tingkah.
Meski setengah hati, Santi menyobek kertas pengunduran dirinya. Sementara si majikan seniman bertambah hari makin gila saja. Kadang-kadang ia keluar dari ruang kerjanya dengan mengamuk. Tak ada yang membuatnya tersenyum. Makan jika merasa sangat perlu sekali, tapi tak berhenti mengisi perutnya dengan bir. Rumah yang terhitung bagus untuk ukuran orang Hongkong itu pun tak sedetik pun bebas asap nikotin. Tak pernah terdengar percakapan, tak pernah ada kesibukan, karena memang Santi dilarang membuat suara apa pun selama si majikan terjaga. Dan majikan terjaga selama hampir dua puluh empat jam!
Santi yang ayu dan lugu pun berubah jadi kuyu. Matanya yang lentik tampak cekung karena mesti terjaga setiap saat majikan memanggilnya dengan bentakan. Raut wajahnya tak lagi menampakkan sinar. Santi tampak seperti orang stres. Meski ketakutannya pada potongan kaki berbulu keriting pendek batas lutut sampai jari-jari di dalam almari es, tak lagi membuatnya histeris. Malah kadang untuk mengisi hari, mencari kesibukan Santi merendam kaki itu dalam larutan formalin, memijat-mijatnya agar larutan bening berbau menyengat sebagai bahan pengawet itu bisa meresap dan menyatu dengan urat dan sendi di dalam kaki buntung itu, mengangin-anginkannya sebentar, sebelum dimasukkannya kembali ke dalam kulkas. Bila sudah begitu, maka majikannya jadi mau makan bila Santi menawari makan. Dan Santi merasa dirinya benar-benar sedang dibutuhkan. Santi tak pernah bercerita tentang majikannya bila ia libur dan bertemu kawan-kawannya saat hari Minggu.
***
Sangat pagi sekali ketika Santi usai mandi keramas. Badannya cuma terbebat handuk setinggi persis di atas dada. Pundaknya terbuka, tulangnya bertambah hari makin menonjol. Lama Santi memerhatikan dirinya dalam cermin. Santi hampir menjerit ketika tiba-tiba majikannya membuka pintu kamarnya yang memang lupa ia kunci. Santi terpaku, mulutnya terbuka, matanya membulat, kedua tangannya menyilang di depan dada. Sementara itu majikanya menyembulkan kepalanya di pintu. Mata sipitnya membeliak. Ia melangkah terjingkat-jingkat dengan penopang di ketiak kirinya. Matanya makin garang menatap Santi, semakin mendekat, napasnya memburu. Santi masih tak mengerti mesti berbuat apa. Keduanya semakin rapat, sangat dekat. Mata bulat Santi semakin membeliak. Ketakutan terkumpul di wajahnya. Badannya gemetaran. Majikan laki-lakinya merapat, kepalanya terulur agak menunduk menyentuh ujung rambut Santi yang tergerai di dekat pipi. Santi hampir berteriak ketika tiba-tiba majikannya membalikkan badan, melangkah menuju pintu, krek di ketiaknya berdecit karena bergesekkan dengan lantai dengan gerak tergesa yang ditekan, “Aku ingin sarapan bubur!” katanya. Santi terduduk di ranjangnya, hampir menangis.
Santi buru-buru berpakaian dan menuju dapur. Tak butuh waktu terlalu lama untuk Santi menyiapkan sarapan majikan. Majikannya makan seperti di buru lapar, selesai dan pergi ke tempat kerjanya, ruang gambar. “Santi!” panggilnya, kali pertama sekali ia menyebut nama Santi, biasanya ia merasa cukup memanggil Santi dengan “kamu”, atau paling banter Sanna dengan logat Kantonis yang medok. Santi tak menyadari sesuatu yang lain itu. Pikirannya terlalu kalut merasa sudah diperawani majikanya, karena majikannya adalah orang pertama yang melihat dirinya tanpa baju tertutup. Santi berlari menuju ruang gambar. Berdiri di depan pintu tanpa berani membuka suara terlebih dahulu.
“Mandi keramaslah” perintah majikannya.
“Hah?! Tapi saya baru selesai mandi, Tuan.”
“Aku tak peduli! Pergi!”
Santi beranjak ke dalam kamar mandi, hatinya berkecamuk perasaannya tak menentu, antara takut dan tak mengerti. Baru sedetik Santi selesai mandi ketika majikannya memanggil agar ia keluar kamar secepatnya.
Santi berdiri mematung di dekat jendela, sesuai instruksi. Majikannya menatapnya dari depan kanvas kosong, tatapnya menakutkan. Berdiri di ambang jendela dengan hanya mengenakan handuk dengan rambut basah membuat Santi menggigil. Majikanya kini melangkah mendekati Santi, Santi beku di tempatnya berdiri.
“Tuan, boleh saya pergi?”
“Diam…! Jendela ini besar sekali. Tak ada penghalang jika kamu kulemparkan ke bawah sana. Kita tinggal di lantai 21, pasti tubuhmu hancur bila kudorong, tak seorang pun akan berpikir aku bisa mendorong orang hingga mati hancur. Aku cacat.”
Santi mendelik. Ketakutan mengisi ke seluruh bagian tubuhnya. Bibirnya menganga, matanya melotot, lengannya rapat menempel pada perutnya, seperti sedang memerisai dirinya dari bahaya perkosaan. Bayangan tubuh melayang dan hancur terlanggar kendaraan yang melintas secepat kilat dan terlihat sekecil mainan anak dari tempatnya berdiri memenuhi benaknya. Raut mukanya mengeras, berusaha tak percaya pada ucapan majikannya. Sementara majikannya semakin mendekati arahnya. Santi berupaya mengumpulkan kekuatan untuk mendorong majikannya bila sampai ia bergerak lebih dekat. Bila perlu ia akan lari hari itu juga dari rumah majikan laknatnya. Meski hanya dengan handuk menempel di badan! Santi yakin ia telah benar-benar menyiapkan dirinya. Tapi tiba-tiba majikanya berhenti pada jarak yang tak bisa diraih tangan Santi. Majikannya diam dan kembali ke kanvasnya.
Kini ia menggambar seperti orang kesetanan. Santi termenung di tempatnya berdiri, tapi tak berani berkata apa pun. Angin yang bertiup dari luar jendela meremangkan bulu tengkuknya. Santi hanya beranjak pergi ketika rambutnya mendekati kering. Menyiapkan makan siang si majikan.
***
Maka demikianlah. Bila engkau berkunjung ke Hongkong, sempatkanlah untuk menyinggahi HK Art Centre. Di sana sedang dipajang lukisan Ken Chan, seniman buntung yang sudah bertahun-tahun menghilang dari dunia melukis. Kau pasti akan mampu menyaksikan lukisan berukuran 1. 25m X 1. 50m, yang dianggap pengagum benda seni sebagai master piece-nya Ken Chan. Gambar Santi dengan mata membeliak, dengan tulang-tulang menonjol, dengan rambut tergerai basah, dengan jendela yang terbuka di belakangnya, dekat dengan warna langit yang kelabu kehitaman. Sebagian orang menganggap lukisan itu lain dari yang lain. Lain dari sekedar goresan halus tentang serumpun bambu, pemandangan alam, atau burung-burung. Lebih dasyat dari lukisan cantik dewa-dewi bermata sempit. Atau gambar naga menyemburkan bunga api. Lebih dari itu. Kalau ada yang perlu disalahkan karena justifikasi ini, ya tentu hal ini berkaitan dengan kesukaan orang perorang yang tak pernah seragam.
Lalu tentang Santi sendiri, ia kemudian dinikahi Ken Chan. Ken Chan tak mau La Santi, yang sudah menjadi asetnya akan berpindah pula jadi milik orang lain. Memang ada cerita La Santi (yang mungkin lebih memberi greget), bunuh diri setelah ia melahirkan anak Ken Chan yang bertangan buntung. Tapi bagian cerita ini saya tidak tahu. Sementara untuk berbohong saya perlu mengerti kebohongan saya agar meyakinkan dan tak dibilang pembual, maka di sinilah cerita La Santi mesti dihentikan.***
Tsing Yi, 9/4/06
Friday, 25 January 2008
Cerita Pendek
Labels: CERPEN




0 comments:
Post a Comment