Saturday, 12 April 2008

Kekaguman Pada Yang Kurang Dimengerti

Rie Rie *)

DARI tahun ketahun peringatan hari Kartini adalah sama. yaitu perempuan memakai kebaya dan jarik sedangkan yang laki-laki memakai blangkon dan beskap atau setidaknya baju batik dengan celana panjang warna gelap.

Bukan cuma sekolah- sekolah saja, di instansi-instansi pemerintah, perusahaan ataupun jasa layanan juga melakukan hal serupa, jarik dan kebaya juga blangkon dan beskap atau batik. Seperti layaknya sebuah keharusan saja.

Selain dengan ditandainya pakaian adat yang njawani (menujukkan ke-jawaan-nya) juga diadakan lomba-lomba seperti peragaan busana, merias, merancang busana, dan lainnya yang intinya adalah menunjukkan kemampuan kewanitaan.


Paduan suara juga kerap kita dengar melantunkan lagu Ibu Kita Kartini karangan WR Supratman. Lagu yang seharusnya ada tiga bait itu terpaksa dipotong hanya satu bait saja untuk dinyanyikan. Alasannya? Mungkin untuk menyingkat waktu atau mungkin karena bait pertama saja yang lebih mengena. Tapi akan ironis sekali kalau dikatakan dengan sejujurnya bahwa mereka (yang menyanyi itu ataupun Anda yang lagi membaca artikel ini) tidak hafal akan bait kedua dan ketiga lagu tersebut.

Hal yang terjadi hanya setahun sekali itu tepatnya pada tanggal 21 April, karena di hari itu, ia, pahlawan nasional kita yaitu Raden Ajeng Kartini dilahirkan. Tepatnya pada 21 april 1879. Satu hal lagi, mungkin juga banyak yang tidak tahu kapan tahun lahirnya RA Kartini ini.

Kartini yang dilahirkan oleh Ngasirah, garwa ampil (selir) dari Raden Mas Sosrodiningrat, bupati jepara ini mempunyai pemikiran berbeda dari perempuan kebanyakan. Hal ini dikarenakan sang bupatipun memberikan kelonggaran pada anak-anaknya untuk membaca.

Kartini yang cerdas mampu menembus alam pikiran barat sebagai perempuan yang suka protes. Melahirkan beberapa pertanyaan-pertanyaan setelah mengetahui ketidaksamaan antara alam pikiran barat yang telah mampu mensejajarkan posisi perempuan dengan posisi laki-laki dan alam pikiran bangsa Indonesia yang cenderung kolot dan tidak memberi kebebasan kepada perempuan. Pertanyaan seperti: kenapa saya tidak seperti mereka? Kenapa kami harus berbeda dengan laki-laki?

Sayangnya pendidikan Kartini terpenggal sampai E.L.S. (Europese Lagere School)/setingkat sekolah dasar. Itulah saatnya Kartini kesrimpet jarik, terpatri pada adat bahwa perempuan harus kawin dan menetap bersama suaminya, juga bersedia dimadu!

Dan apakah momen kesrimpet jarik seperti yang dialami oleh Kartini ini yang mendasari adanya perempuan-perempuan memakai kebaya dan jarik di hari Kartini? Lalu kalau saat itu Kartini yang tentu saja sudah mengenal rok, memakai rok, masih mungkinkah tradisi kebayaan dan jarikan diadakan untuk memperingati hari Kartini?

Hal sebenarnya yang disampaikan Kartini seperti halnya dengan yang tertulis dalam surat-surat yang dikirimkannya pada sahabat-sahabatnya. Surat-surat yang kemudian dibukukan dalam” Door Duisternis Tot Licht” yang disusun oleh JH Abendanon yang kemudian diterjemahkan oleh Balai Pustaka, Armijn Pane yang lebih kita kenal dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku yang sangat populer, tapi kepopulerannya itu bukan berarti telah dibaca oleh seluruh bangsa yang mengelu-elukan dan mengaguminya. Dan apalah artinya perayaan Hari Kartini tanpa mengetahui pemikiran-pemikiran Kartini?

Semoga saja peringatan hari Kartini tidak lebih pada perayaan kebangsaan dan nasionalisme untuk menciptakan citra kebangkitan perempuan Indonesia, tapi pada pemikiran-pemikiran ide-ide Kartini karena yang dikenalkan Kartini pada kita adalah kekaguman pada pendidikan barat, kekaguman Kartini pada alam pikiran yang dianggapnya maju, yaitu pensetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan.

*) Penulis adalah anggota Sekar Bumi bidang Sastra dan Jurnalistik


0 comments: