Monday 26 May 2008

O r a s i

Lewat Seni, Kami Melawan

JUTAAN perempuan pergi dari negeri kami. Mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang yang mereka cintai. Hanya untuk menjadi babu di negeri orang.

Kami, para perempuan itu, melakukannya karena tak ada pekerjaan yang bisa kami lakukan di negeri sendiri.


Kami kemudian memilih pergi, ke tempat yang sama sekali asing, karena kami tahu negeri kami tak punya solusi dari kemelaratan yang membelit keluarga kami.

Negeri kami tak bisa memberikan solusi tentang apa yang akan kami makan esok hari, tentang pendidikan jenis apa yang bisa dicecap anak-anak kami tanpa harus menguras seluruh harta benda kami.

Tapi ternyata kepergian kami tak serta merta menyelesaikan seluruh perkara. Tenaga dan keringat kami dihargai murah hanya karena alasan kami tak becus kerja. Sementara mereka yang mestinya bertanggung jawab memberitahu kami cara berkerja, justru mengutip uang kami semena-mena. Kemudian menyalurkan begitu saja dan cuci tangan terhadap segala perkara.

Tak sedikit dari kami justru menanggung utang, berjuta-juta, bahkan ketika tangan kami belum menerima upah satu dollar pun dari keringat kerja berbulan-bulan yang kami kucurkan.

Kami tahu bahwa mengeluh saja tak akan menyelesaikan masalah. Kami juga tahu bahwa meminta belas kasihan kepada para penguasa adalah sebuah kesia-siaan.

Sejarah mengajari kami bahwa perubahan hanya bisa terjadi oleh upaya kami sendiri. Oleh tangan dan kaki kami sebagai kaum pekerja.

Indonesia, negeri kami, juga berdiri atas keringat kaum pekerja. Indonesia, bangsa kami, menikmati kemerdekaan juga karena perjuangan kaum pekerja.

Yang perlu kami lakukan saat ini adalah berkumpul, berhimpun, bersatu, dan menyebarkan kesadaran seluas mungkin ke kawan-kawan kami, bahwa kami adalah pelopor bagi perubahan nasib kami sendiri.

Seratus tahun lampau, ratusan pemuda di negeri kami melahirkan kesadaran yang sama. Berkumpul, berhimpun, bersatu, dan membagi kesadaran kepada massa rakyat tentang pentingnya membawa Indonesia menuju cita-cita merdeka. Mereka melakukan penyadaran lewat berbagai cara, dengan tujuan sama: Indonesia merdeka.

Kini, di tanah rantau ini, kami tahu bahwa para perempuan seperti kami mulai memiliki kesadaran sama. Berkumpul, berhimpun, dan berjuang untuk mewujudkan kesejahteraan kaum pekerja.

Ada berbagai cara yang mereka pilih, ada banyak jalur yang mereka tempuh. Tapi kami tahu bahwa tujuan kami sama: kesejahteraan kaum pekerja.

Di Sekar Bumi, lewat tarian yang kami kreasi, lagu dan musik yang kami tampilkan, teater yang kami sajikan, puisi dan cerpen yang kami ciptakan, dan jurnal yang kami kelola, kami tak semata bicara tentang “kami” sebagai individu. Tapi kami sebagai perempuan yang terusir dari tanah dan negeri kami. Kami sebagai kaum pekerja.

Di Sekar Bumi, kami belajar bersuara. Suara yang sungguh berasal dari kami sebagai kaum pekerja. Kami juga belajar meninggalkan jejak feodalisme yang mengakar kuat dalam budaya masyarakat kami. Sebuah budaya yang doyan menjilat ke atas saat kita berada di bawah dan menginjak ke bawah saat kita sudah berada di atas. Sebuah budaya yang membuat kaum buruh kehilangan jati dirinya dan hanya menjadi “bebek” dari sistem yang jelas-jelas tak berpihak pada kaum pekerja.

Di Sekar Bumi, kami berupaya membangun budaya baru. Budaya yang lahir dari keringat kaum pekerja. Budaya yang menaruh hormat pada kemanusiaan dan menolak segala bentuk penindasan.

Sekar Bumi menjadi senjata kami untuk mengatakan “tidak” terhadap segala kesewenang-wenangan dan sistem yang tak adil. Mengatakan “cukup” untuk segala tindakan yang merampas hak kemanusiaan kami sebagai kaum pekerja.

Pada akhirnya, apa yang kami lakukan, adalah upaya menghargai kemanusiaan, sebenar-benarnya, selengkap-lengkapnya.


Hong Kong, 25 Mei 2008

Dibacakan dalam launching Sekar Bumi, di Hotung Secondary School, Causeway Bay, Hong Kong pada 25 Mei 2008



0 comments: